Arungi Bahtera Cinta dengan Ilmu



Kunasihatkan kepada saudara-saudariku yang akan menyempurnakan separuh agamanya. Pernikahan bukanlah terletak dari mewahnya acara, makanan yang lezat seperti yang nampak di akhir zaman ini. Pernikahan adalah bentuk rahmat Alloh terhadap hamba-Nya dengan disatukannya dua hati, perbedaan prinsip, dan beragamnya prilaku.

Ketika pernikahan menjadi ajang foya-foya, menghambur-hamburkan harta maka bentuk pernikahan seperti ini adalah dilarang dalam islam. Kita lihat pada sebagian umat islam tatkala mengadakan acarawalimah, makanan terbuang begitu saja, iringan musik menggema, serta mempelai pria dam wanita (berhias berlebihan) dipajang dihadapan umum.

Pernikahan adalah sebuah gerbang utama untuk membangun bahtera cinta, mengarungi samudera sampai kematian menjemputnya. Tidak ada lautan tanpa ombak dan gelombang, begitu juga tidak ada rumah tangga tanpa problem. Barangsiapa yang sesumbar mengatakan bahwa rumah tangganya tanpa masalah sungguh dia telah berbohong. Jika kita membuka, membaca, dan mempelajari perjalanan Rasululloh dalam membangun biduk rumah tangga maka kita akan tahu bahwa seorang Nabi dan Rasulpun juga tak lepas dari problem rumah tangga.

Lalu bagaimana kita menyelesaikan setiap permasalahan rumah tangga?. Ketahuilah, bahwa rumah tangga yang sukses, tidaklah terletak pada terbebasnya dari masalah rumah tangga melainkan bagaimana dua insan menghadapi dan menyelesaikan masalah itu. Sesungguhnya dan patut dipahami bahwa ada dua hal yang menjadi onak duri dalam rumah tangga, yaitu harta dan ego.

Harta akan menjadi mimpi buruk bagi keduanya terutama bagi suami. Biasanya, masalah harta terletak pada istri. Karena kebutuhan terbanyak ada pada istri. Jika suami tidak bisa menyikapi masalah harta, maka bersiaplah biduk rumah tangga yang ia bangun akan karam, berakhir hanya seumur jagung. Jika istri tidak bisa menerima setiap pemberian suami, pekerjaaan dan gaji suami yang kecil maka bersiaplah dirinya akan menjadi istri yang durhaka. Kesabaran dan Qonaah dibutuhkan dalam hal ini.

Sebaliknya, ego akan menjadi hantaman godam bagi keduanya terutama bagi istri. Untuk masalah ego, biasanya terletak pada suami. Karena pria lebih kuat, ingin dihargai, ingin menjadi pemenang, ingin dilayani, dan ingin selalu berada di atas. Bersiap-siaplah bagi istri menghadapi suami bertempramental tinggi, egoisme, dan tidak mau mengalah.

Selayaknya suami bisa mengontrol emosinya tatkala ia marah tidak ringan tangan, ingat bahwa istri lebih mengutamakan perasaannya ketimbang akalnya. sebaliknya ketika istri emosi maka hendaknya sang suami tidak membalasnya dengan emosi. Karena ia justru akan memperbesar masalah, ibarat kertas yang terbakar api. Api akan semakin membesar tatkala disiram dengan minyak dan akan menghanguskan seisi rumahnya. Berbeda jika api disiram dengan air atau racun api.

Oleh karena itu, keduanya memiliki peran yang sama bagaimana membangun biduk rumah tangganya. Istri harus mempelajari kodratnya sebagai istri. Melayani suami, memasak, mencuci pakaiannya, menjaga dan merawat anak-anaknya, qonaah terhadap pemberiannya, menjaga harta dan dirinya tatkala suami tidak dirumah. Berdandan hanya untuk suaminya, bukan sebaliknya. Kita saksikan, betapa banyak wanita berhias, memakai wewangian, dan berpakaian telanjang tatkala keluar rumah, sedangkan tatkala dirumah suami hanya mendapatkan sisanya. Rambut awut-awutan, pakaian ala kadarnya, badan bercampur dengan bau dapur dan keringat. Energi dan dandanannya ia habiskan untuk diluar rumah. Pelayanan terhadap suami nol besar.

Begitu juga suami harus mempelajari tugas dan kewajibannya. Memberikan kasih sayang, menafkahi keluarganya lahir batin, memberinya perlindungan, dan mengajarinya tentang agamanya.

Hanya ada satu kuncinya, yaitu ilmu. Hendaknya setiap pria dan wanita yang akan menikah, mempelajari agamanya terutama tentang seluk beluk pernikahan. Berapa banyak umat dari akhir zaman ini, tidak paham ilmu dien. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan hartanya untuk mengejar titel S1, S2 ataupun S3. tidak tergerak sama sekali di hatinya untuk menyisakan waktunya untuk mempelajari ilmu agama. Seolah-olah agama tidaklah begitu penting dan hanya mencukupkan agamanya yang ia dapat saat duduk dibangku sekolah. Itu saja…tidak lebih.

Ilmu agama harusnya lebih ia butuhkan dari makan dan minum. Jika ia tidak makan dan minum, maka dirinya masih hidup, akan tetapi jika ia tidak memiliki ilmu agama yang shohih, maka dirinya akan mati dan ia akan mempertanggungjawabkan semuanya. Sudah tahukah ia, bagaimana Rasulullloh beribadah, berwudhu’ dan sholat? Pahamkah ia bagaimana bangun dan tidurnya Nabi sampai buang hajat sekalipun?

Ingatlah, bahwa ibadah tidak akan diterima kecuali dua, niat ikhlas dan ittiba’ (sesuai dengan contoh). Cobalah anda renungkan, sudah benarkah ibadah anda selama ini? Sesuai dengan sunnah atau tidak?

Begitu juga dengan pernikahan. Bagaimana Rasululloh menjelaskan/ mengajari kita tentang pernikahan? Hanya dengan ilmu-yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits yang shohih berdasarkan pemahaman para sahabat- maka hidup dan kehidupan rumah tangganya akan berakhir dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Jika keduanya tidak bisa mengatasi dua masalah diatas dengan ilmu, bukan tidak mungkin pernikahannya hanya tinggal sebuah kenangan, sebuah nama yang tertera di surat undangan, dan diantara ingatan para tamu. Terlantarnya anak akan menjadi akibat dari masalah ini.