Keluarga Sakinah, Apa Kuncinya?



Bahtera rumah tangga membutuhkan nakhoda yang mengerti tujuan dan arah berlayar, diikuti para awak yang memiliki kesabaran yang tangguh dan teruji, yang siap diatur oleh sang nakhoda. Sebagaimana bahtera yang mengarungi samudra yang luas akan menghadapi arus dan gelombang yang menggunung, begitu pula bahtera berumah tangga. Akan banyak ujian dan cobaan di dalamnya. Banyak kerikil-kerikil tajam dan duri-duri yang menusuk peraduan.

Dahsyatnya ujian tersebut menyebabkan banyak bahtera rumah tangga yang kandas dan tidak bisa berlabuh lagi, bahkan hancur berkeping-keping. Sang istri ditelantarkan dengan tidak dididik, bahkan tidak diberikan nafkah. Sehingga muncul awak-awak bahtera yang tidak taat kepada nakhoda. Awak yang tidak mengerti tugas dan kewajibannya, berjalan sendiri dan mencari kesenangan masing-masing.

Inilah pertanda kecelakaan dan kehancuran. Sang anak dibiarkan seakan-akan tidak memiliki ayah, sebagai seorang pemandu dan pembela yang akan mengarahkan dan melindungi. Seakan-akan tidak memiliki ibu, yang akan memberikan luapan kasih sayang dan perhatian yang dalam. Masing-masing berjalan pada keinginan dan kehendaknya, tidak merasa adanya keterikatan dengan yang lain. Sang nakhoda berjalan di atas dunianya, sang istri dan sang anak di atas dunia yang lain. Saling tuduh dan saling vonis serta saling mencurigai akan terus berkecamuk, berujung dengan perpisahan. Akankah gambaran keluarga tersebut mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan? Bahkan itulah pertanda malapetaka yang besar dan dahsyat.

Memang problem dalam berumah tangga adalah sebuah suratan taqdir yang mesti ada dan terjadi. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala telah menurunkan syariat-Nya untuk membimbing ke jalan yang diridhai dan dicintai-Nya. Jalan yang akan mengakhiri problem tersebut. Sebuah suratan yang tidak akan berubah dan tidak akan dipengaruhi oleh keadaan apapun.

Ujian dalam berumah tangga tentu akan lebih besar dibanding ujian yang menimpa individu. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya ketika menjelaskan tujuan ilmu sihir dipelajari dan diajarkan:

“Maka mereka mempelajari dari keduanya, apa yang dengan sihir itu, mereka dapat mencerai-beraikan antara seorang (suami) dengan istrinya.” (Al-Baqarah: 102)

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya. Yang paling dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar fitnahnya. Datang kepadanya seorang tentaranya lalu berkata: ‘Aku telah berbuat demikian-demikian.’ Iblis berkata: ‘Engkau belum berbuat sesuatu.’ Dan kemudian salah seorang dari mereka datang lalu berkata: ‘Aku tidak meninggalkan orang tersebut bersama istrinya melainkan aku pecah belah keduanya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Lalu iblis mendekatkan prajurit itu kepadanya dan berkata: ‘Sebaik-baik pasukan adalah kamu.’ Al-A’masy berkata: ‘Aku kira, (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: ‘Lalu iblis memeluknya.” (HR. Muslim no. 5302)

Bila iblis telah berhasil menghancurkannya, kemana sang anak mencari kasih sayang? Hidup akan terkatung-katung. Yang satu ingin mengayominya, yang lain tidak merestuinya. Alangkah malang nasibmu, engkau adalah bagian dari korban Iblis dan bala tentaranya.

Kalau demikian keras rencana busuk Iblis terhadap keluarga orang-orang yang beriman, kita semestinya berusaha mencari jalan keluar dari jeratan dan jaring yang dipasang oleh Iblis, yaitu dengan belajar ilmu agama.

Bahkan keluarga terbaik, mulia dan dibangun oleh seorang terbaik, imam para nabi dan rasul, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Ummahatul Mukminin, juga tak lepas dari duri-duri dalam berumah tangga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah kepada istri beliau ‘Aisyah dan Hafshah, sampai beliau memberikan takhyir (pilihan) kepada keduanya dan kepada istri-istri beliau yang lain: apakah tetap bersama beliau ataukah memilih dunia. Kemudian seluruh istri beliau lebih memilih bersama beliau. (lihat secara detail kisahnya dalam riwayat Al-Imam Al- Bukhari no. 4913, 5191 dan Muslim no. 1479)

Cerita menantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu bersama putri beliau Fathimah radhiyallahu ‘anha –dan kita mengetahui kedudukan beliau berdua di dalam agama ini– juga tidak terlepas dari kerikil-kerikil berumah tangga.

Telah diceritakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Nama yang paling disukai oleh ‘Ali adalah Abu Turab. Dia senang sekali dengan nama yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Suatu hari, ‘Ali marah kepada Fathimah, lalu dia keluar dari rumah menuju masjid dan berbaring di dalamnya. Bertepatan dengan kejadian tersebut Rasulullah datang ke rumah putrinya, Fathimah, namun beliau tidak mendapatkan ‘Ali di rumah. “Mana anak pamanmu itu?”, tanya beliau. “Telah terjadi sesuatu antara aku dan dia, dan dia marah padaku lalu keluar dari rumah. Dia tidak tidur siang di sisiku,” jawab Fathimah. Rasulullah berkata kepada seseorang: “Lihatlah di mana Ali.” Orang yang disuruh tersebut datang dan mengabarkan: “Wahai Rasulullah, dia ada di masjid sedang tidur.” Rasulullah mendatanginya, yang ketika itu ‘Ali sedang berbaring dan beliau dapatkan rida`-nya (kain pakaian bagian atas) telah jatuh dari punggungnya. Mulailah beliau mengusap pasir dari punggungnya seraya berkata: “Duduklah wahai Abu Turab. Duduklah wahai Abu Turab.” (HR. Al-Bukhari no. 3703 dan Muslim no. 2409)